Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Banten: Wajah Buruk yang Tertutup Data

photo author
- Minggu, 29 Juni 2025 | 20:17 WIB
Penulis: Umi Nasroh Muyassaroh (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang PSDKU Serang) (Topmedia.co.id/Istimewa)
Penulis: Umi Nasroh Muyassaroh (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang PSDKU Serang) (Topmedia.co.id/Istimewa)

Ironisnya, upaya pencegahan masih bersifat seremonial. Kegiatan sosialisasi atau kampanye pencegahan kekerasan tidak menyentuh akar budaya yang menormalisasi dominasi laki-laki atas perempuan. 

Dalam masyarakat patriarkal, anak perempuan kerap dididik untuk diam, menahan malu, dan menghindari konflik — nilai yang justru melanggengkan kekerasan.

Lemahnya pendidikan seksualitas di sekolah juga turut andil. Banyak siswa tidak mendapatkan pemahaman yang benar tentang tubuh, relasi sehat, dan batasan kekuasaan. Ketidaktahuan ini menjadikan anak dan remaja lebih rentan menjadi korban, tanpa tahu bagaimana melapor atau melindungi diri.

Baca Juga: Politik Indonesia di Tahun 2025: Krisis Koalisi, Politik Uang, dan Peran Generasi Muda

Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan pun masih lemah. Banyak pelaku hanya dihukum ringan, atau bahkan lolos karena adanya “damai keluarga”. Restorative justice yang seharusnya bersifat alternatif sering kali digunakan tanpa perspektif korban, dan hanya demi menyelamatkan nama baik keluarga.

Lembaga agama dan tokoh masyarakat seharusnya menjadi bagian dari solusi. Namun, dalam banyak kasus di Banten, mereka justru menjadi pihak yang mendorong penyelesaian diam-diam. Ini menunjukkan perlunya literasi hukum dan gender yang lebih luas, termasuk bagi para pemimpin informal.

Media massa lokal juga kurang memberi ruang untuk suara korban. Berita-berita kekerasan seksual kerap dilaporkan tanpa perspektif korban dan bahkan menyalahkan korban secara tidak langsung. Ini berkontribusi pada rasa takut dan malu yang memperparah trauma korban.

Baca Juga: Kelas Menengah Indonesia: Pilar yang Retak di Tengah Krisis Ekonomi

Urgensi Reformasi Sistemik dan Kultural

Pemerintah daerah harus segera memperluas akses terhadap rumah aman, pendamping psikologis, bantuan hukum gratis, serta penguatan unit PPA di kepolisian. Tanpa sistem pendukung yang memadai, korban akan terus diam dan kekerasan akan tetap mengakar.

Lebih dari itu, pendidikan gender harus diintegrasikan dalam kurikulum sekolah dasar hingga menengah. Anak-anak harus diajarkan sejak dini bahwa kekerasan bukanlah bentuk kasih sayang dan bahwa tubuh mereka memiliki hak yang harus dihormati.

Kita juga perlu membangun budaya pelaporan yang aman. Setiap komunitas bisa dilengkapi dengan kanal pengaduan berbasis desa atau kelurahan, yang dijaga kerahasiaannya dan didampingi oleh kader perempuan setempat.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah luka sosial yang mendalam. Di Banten, luka ini belum mendapat perhatian yang layak. Jika dibiarkan, kita akan terus kehilangan generasi yang tumbuh dalam trauma, ketakutan, dan ketidakadilan.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Febi Sahri Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Dampak Kemajuan Teknologi Terhadap Dunia Kerja

Minggu, 20 Juli 2025 | 15:34 WIB

Perekonomian Di Era Jokowi

Rabu, 2 Juli 2025 | 17:42 WIB
X