Ketika harga bahan pokok naik dan lapangan kerja semakin sempit, pemerintah kerap dianggap abai dan lamban mengambil langkah yang konkret dan dirasakan langsung oleh rakyat kecil.
Kurangnya ruang partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan juga memperparah krisis kepercayaan. Banyak kebijakan strategis yang diambil tanpa konsultasi publik yang memadai, sehingga menimbulkan kesan bahwa pemerintah berjalan sendiri tanpa mendengarkan aspirasi rakyat. Ini mengurangi legitimasi moral dari setiap keputusan yang diambil oleh negara.
Dampak dari berbagai krisis ini adalah munculnya gelombang protes dari kalangan mahasiswa, buruh, dan organisasi masyarakat sipil.
Tagar-tagar protes seperti #ReformasiDikorupsi, #IndonesiaGelap, hingga #TurunkanHarga menjadi simbol ketidakpuasan publik yang semakin meluas dan sulit dibendung hanya dengan retorika semata.
Baca Juga: Politik Indonesia di Tahun 2025: Krisis Koalisi, Politik Uang, dan Peran Generasi Muda
Pemerintah perlu menyadari bahwa kepercayaan publik bukanlah sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma, tetapi hasil dari kerja nyata, transparansi, keadilan, dan keberpihakan terhadap rakyat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka akan berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi dan stabilitas nasional.
Membangun kembali kepercayaan masyarakat harus dimulai dengan komitmen serius untuk memberantas korupsi, memperbaiki pelayanan publik, melibatkan masyarakat dalam proses kebijakan, dan meningkatkan transparansi di semua lini pemerintahan.
Tanpa perubahan nyata dan menyeluruh, kepercayaan publik akan terus terkikis, dan legitimasi pemerintah pun akan semakin rapuh.***
Artikel Terkait
Investasi dan Inovasi Keuangan Digital: Kunci Pertumbuhan Ekonomi 2025
Warisan Kuasa: Dominasi Politik Keluarga Dimyati di Banten
Sejumlah Masalah Kesehatan di Indonesia
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Banten: Wajah Buruk yang Tertutup Data
Maraknya Sampah di Indonesia
Perekonomian Di Era Jokowi
Minimnya Inovasi Teknologi Lokal: Tantangan Besar Menuju Indonesia Maju