Contohnya, kebijakan paten dan hak kekayaan intelektual (HAKI) masih belum berpihak pada penemu lokal. Banyak peneliti kesulitan mematenkan karyanya karena proses yang panjang dan biaya yang mahal. Akibatnya, banyak inovasi yang akhirnya dibiarkan begitu saja atau bahkan diklaim oleh pihak asing.
Selain dari sisi kebijakan, budaya inovasi di masyarakat juga masih perlu ditumbuhkan. Di banyak lingkungan pendidikan, kreativitas dan pemikiran kritis masih kurang mendapat ruang.
Baca Juga: Investasi dan Inovasi Keuangan Digital: Kunci Pertumbuhan Ekonomi 2025
Siswa dan mahasiswa lebih sering diarahkan untuk menghafal daripada mengeksplorasi gagasan baru. Kurikulum yang kaku dan metode pembelajaran yang monoton tidak membantu melahirkan generasi inovator.
Diperlukan reformasi pendidikan yang mendukung ekosistem berpikir bebas, kreatif, dan berbasis proyek (project-based learning).
Langkah konkret untuk mengatasi minimnya inovasi teknologi lokal harus dimulai dari keberanian pemerintah untuk menaikkan anggaran riset secara signifikan dan berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan insentif bagi industri yang mau berinvestasi dalam riset lokal.
Baca Juga: Tambang Hanya Merusak Alam, Bukan Menyejahterakan
Kolaborasi antara kampus, lembaga litbang, dan industri harus diperkuat dengan kebijakan dan insentif yang jelas, misalnya melalui tax holiday untuk perusahaan yang mendanai riset perguruan tinggi.
Tak kalah penting, perlu dibentuk pusat-pusat inovasi daerah (innovation hubs) yang bisa menampung ide-ide dari anak muda dan masyarakat lokal.
Pusat ini bisa menjadi inkubator bisnis berbasis teknologi, yang didukung dengan fasilitas lengkap, pelatihan, mentor, serta akses ke pendanaan.
Dengan begitu, inovasi tidak hanya lahir di Jakarta atau kota besar, tetapi juga bisa tumbuh di daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Baca Juga: Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Masalah, Penyebab, dan Strategi Penanggulangan
Indonesia juga harus belajar dari negara-negara yang berhasil membangun budaya inovasi dari nol. Korea Selatan, misalnya, dulunya adalah negara berkembang yang miskin sumber daya alam, namun mampu menjadi raksasa teknologi dunia karena komitmen jangka panjang terhadap riset dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan bukan hanya soal dana, tetapi juga visi dan keberpihakan pada teknologi lokal.
Di era digital saat ini, bangsa yang lamban dalam inovasi akan tertinggal jauh. Revolusi Industri 4.0 telah mengubah wajah dunia dengan hadirnya kecerdasan buatan, big data, internet of things, dan berbagai teknologi disruptif lainnya.
Indonesia harus bisa menjadi produsen teknologi, bukan hanya pasar konsumtif bagi produk asing. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam panggung ekonomi global.
Artikel Terkait
Tambang Hanya Merusak Alam, Bukan Menyejahterakan
Investasi dan Inovasi Keuangan Digital: Kunci Pertumbuhan Ekonomi 2025
Warisan Kuasa: Dominasi Politik Keluarga Dimyati di Banten
Sejumlah Masalah Kesehatan di Indonesia
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Banten: Wajah Buruk yang Tertutup Data
Maraknya Sampah di Indonesia
Perekonomian Di Era Jokowi