Penulis : Prof. Dr. Muhadam Labolo Guru Besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
TOPMEDIA.CO.ID - Eksistensi organisasi kemasyarakatan (ormas) kini mencemaskan, karenanya dipersoalkan. Masalahnya, ruang publik dihiasi premanisme atas nama ormas. Tentu tak semua ormas.
Negara dinilai abai atas tindak-tanduknya yang menyerupai, bahkan melampaui fungsi dan tugas negara. Bagaimana memosisikan ormas dalam bingkai bernegara?
Semua paham, bahwa negara pada hakekatnya produk masyarakat. Jauh sebelum entitas negara hadir, tiap individu yang merasa terganggu mengasosiasikan diri dalam organisasi. Sebab hanya dengan begitu kekuatan dapat ditumbuhkan untuk membentengi dan mengusir penjajah. Inilah organisasi masyarakat.
Kelak, organisasi masyarakat yang berbeda latar itu mengintegrasikan diri dalam wadah yang lebih luas. Mengklaim diri secara de facto maupun de jure. Jadilah negara. Dalam teori pertumbuhan dan perkembangan negara, Ndraha (2002) meletakkan di level ketiga dari hierarki bertuhan, beralam, kemudian bermasyarakat.
Setelah bermasyarakat, kolektivitas manusia berkembang ke level berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan. Pada derajat bermasyarakat itu manusia membawa statusnya sebagai makhluk, manusia dan penduduk.
Itulah bahan baku yang membentuk civil society atau warga masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial. Dalam kerangka itu, subkultur sosial memiliki fungsi utama mengontrol subkultur kekuasaan.
Sebab darisanalah kekuasaan datang. Subkultur kekuasaan mengontrol subkultur ekonomi. Karena dari situlah kesejahteraan dibagi. Untuk melayani subkultur sosial, subkultur kekuasaan punya otoritas lewat fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi.
Di sinilah posisi idealnya. Bila subkultur kekuasaan tuna kontrol, yang muncul otoritarianisme. Bila subkultur ekonomi nihil kontrol, terciptalah kapitalisasi dan oligarki yang menghisap.
Demikian halnya, nirkontrol terhadap subkultur sosial melahirkan premanisme, arogansi ormas, dan konflik horisontal. Jadi, ketiga subkultur itu punya patologi yang sama bila kehilangan kontrol. Sama-sama musuh rakyat.
Pemerintah zalim, oligarki rakus, dan premanisme pada akhirnya menjadi musuh bersama (common enemy). Kerangka keseimbangan itu bisa ditemukan dalam paradigma pemikiran ilmu pemerintahan, yaitu relasi antar subkultur dengan produk dan tanggungjawabnya masing-masing (Ndraha, 2002).
Artikel Terkait
200 Orang Keracunan Usai Konsumsi MBG, Presiden PrabowoKlaim Kasus Tersebut Masih Kecil Dibanding Total Penerima Manfaat
Dorong Pemerataan di Provinsi Banten Andra Soni Minta Persoalan Listrik di Daerah Kepulauan Harus Segera Diselesaikan
Akan Menikah dengan Maxime Bouttier, Luna Maya Berikan Jabatan ‘Ketua Wanita yang Masih Betah Melajang’ pada Raline Shah
Tampung Aspirasi Akar Rumput, Relawan Andra-Dimyati Susun RPJMD Versi Rakyat
Bantu Pemerintah Daerah Dalam Percepatan Pembangunan Kodim 0602 Serang Gelar TMMD Ke-124
Berikan Motivasi dan Harapan Baru Untuk Warga Binaan Lapas Perempuan, Dewan Kerajinan Nasional Gelar Pelatihan Wirausaha
Sempat Merenggang Saat PDKT, Luna Maya Ngaku Pernah Pantang Menyerah Ngejar Maxime Bouttier
Jadi Pintu Masuk Manusia Lintas Negara, Andra Soni Sebut TIM Pora Provinsi Banten Miliki Peran Penting Dalam Pengawasan Orang Asing
Nagita Slavina Jadi Mak Comblang, Begini Kilas Balik Awal Kedekatan Luna Maya dan Maxime Bouttier yang Akan Segera Menikah
Miliki Jumlah Penduduk Usia Produktifnya yang Tinggi, SDM Provinsi Banten Diincar Jadi Tenaga Kerja Prefektur Mie Jepang