Namun jika dicermati, sebelum genre ini merebakpun kehidupan remaja di sehari-harinya tidak jauh berbeda. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama.
GUGATAN TERHADAP "TEENLIT"
Meski fenomenal, pro-kontra terhadap genre ini tetap saja mencuat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa karya satu ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat.
"Teenlit" (demikian pula dengan "chicklit") juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Miris! Penemuan Botol Miras di Taman Layak Anak, Persis Depan Mapolres dan Gedung DPRD Kota Cilegon
Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel "Bunga" karya Korrie Layun Rampan, "teenlit" jelas tidak seimbang. Korrie tidak sekadar menyajikan dengan bahasa yang "taat kaidah", tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Hal ini menyebabkan "teenlit" tidak akan bertahan lama.
Selain itu, "teenlit" juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa. Meskipun ragam lisan menjadikan "teenlit" sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi.
Malah keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel "teenlit" dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia.
Dari segi isi, "teenlit" juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan.
Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, 7 September 2005 tentang "teenlit".
Gugatan ini bisa dianggap cukup berlebihan. Karena kalau kita mencermati, gaya hidup remaja sejak sebelum genre ini merebak, tidaklah berbeda jauh.
Aspek bahasa mungkin tidak seheboh saat ini, namun sudah tercermin sejak lama. Demikian pula dalam hal pergaulan. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama. Dengan kata lain, transisi budaya itu tidak terjadi ketika "teenlit" atau "chicklit" hadir.
"TEENLIT" MASA DEPAN