Adanya resiko mengenai dampak penelitian ini dikarenakan bakteri Wolbachia masih belum umum bagi masyarakat Indonesia.
Apalagi teknologi jentik nyamuknyapun impor dari luar negeri.
Walaupun, bila penelitian ini sudah terbukti berhasil dilakukan di luar negeri, namun adanya perbedaan genetik orang Indonesia dengan orang Australia bisa saja berdampak pada respon yang berbeda terhadap nyamuk ber-Wolbachia ini.
Dr. Ir. Raden Kun Wardana Abyoto, M.T. menjelaskan Program pelepasan ratusan juta nyamuk Wolbachia di Indonesia ini berpotensi membawa risiko parah terhadap Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan.
Sejauh ini belum ada studi menyeluruh di Bali, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang secara jangka panjang sehingga berisiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, termasuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Beliau juga menambahkan, pelepasan jutaan nyamuk berpotensi merusak industri pariwisata, serta ekonomi masyarakat setempat. (Sinarharapan.net 12/11/2023).
Walau diklaim efektif menurunkan dan mengurangi angka kematian akibat DBD, namun resiko kegagalan tetap harus diperhitungkan.
Logikanya, jika penyakit muncul dari hewan apalagi serangga, maka idealnya mencari cara agar hewan jenis serangga tersebut dibasmi. Bukan bereksperimen dengan mengembang biakkan serangga yang menimbulkan resiko cukup besar terhadap manusia. Maka wajib dipertanyakan mengapa proyek wolbachia tetap harus dilaksanakan.
Apakah Program Nyamuk Dunia (World Mosquito Program), para peneliti, penyandang dana, produsen telur nyamuk, dan perguruan tinggi yang melakukan penelitian akan bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau program ini memberikan dampak negatif. Belum lagi penyakit dan kerusakan yang ditimbulkan hampir tidak mungkin dilacak.
Alhasil, pemerintah daerah Bali memutuskan menolak program penyebaran nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia tersebut.
Harapan penulis:
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Negara wajib memberikan pelayanan terbaik.