Penulis: Nadia (Mahasiswa Prodi Sistem Komputer Unpam PSDKU Serang)
TOPMEDIA.CO.ID - Di sebuah kota kecil yang dulunya dikenal karena kekompakan warganya, hiduplah seorang pedagang bernama Haji Karim. Meski usianya tak lagi muda, semangatnya dalam membantu sesama tak pernah padam.
Setiap bulan Ramadan, ia selalu menghitung dengan teliti harta yang dimilikinya, lalu menyalurkan zakatnya kepada fakir miskin, anak yatim, dan mereka yang membutuhkan.
“Zakat itu bukan hanya kewajiban, tapi bagian dari jiwa kita sebagai manusia,” katanya suatu ketika kepada anak-anak muda yang menanyakan alasan di balik kedermawanannya.
Baca Juga: DPR Dukung Ide Kampung Haji yang Digagas Prabowo, Optimis Bisa Kurangi Biaya Akomodasi Jemaah
Dahulu, zakat menjadi denyut nadi dalam kehidupan sosial umat Islam. Ia bukan sekadar ibadah pribadi, tetapi sistem sosial yang mengalirkan keadilan, kasih sayang, dan solidaritas.
Setiap orang yang diberi kelebihan harta, tahu bahwa dalam kekayaan itu ada hak orang lain yang harus ditunaikan.
Melalui zakat, si kaya tidak merasa terancam oleh si miskin, dan si miskin tidak merasa iri pada si kaya. Sebuah keseimbangan tercipta, dan masyarakat hidup dalam harmoni.
Baca Juga: Jawab Sindiran Megawati soal Dugaan Ijazah Palsu, Jokowi: Saya Sebetulnya Sedih
Namun kini, pilar itu mulai retak. Di tengah gemerlap kehidupan modern dan serbuan budaya individualistik, zakat perlahan dilupakan.
Banyak yang sibuk menumpuk harta, namun lupa membersihkannya. Tidak sedikit pula yang tidak tahu atau tidak peduli dengan kewajiban berzakat.
Di sisi lain, lembaga zakat pun masih menghadapi tantangan dalam transparansi dan kepercayaan publik. Akibatnya, zakat tak lagi menjadi gerakan sosial yang masif, melainkan ibadah sunyi yang dijalankan oleh segelintir orang.
Padahal, dampak lunturnya kesadaran zakat sangat nyata. Kesenjangan sosial semakin melebar. Kemiskinan terus menggerogoti pinggiran kota. Anak-anak kehilangan akses pendidikan karena ketiadaan biaya.
Sementara itu, di tempat lain, harta berlimpah mengendap tanpa arah. Ini bukan hanya krisis ekonomi, tapi krisis nilai: saat rasa memiliki terhadap sesama menghilang, dan keadilan sosial tak lagi menjadi cita-cita bersama.