Penulis: Muflihah (Mahasiswa Ilmu Hukum Unpam PSDKU Serang)
TOPMEDIA.CO.ID - Hukum pada hakikatnya adalah sarana untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan kepastian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, idealisme tersebut seringkali berbenturan dengan realitas yang pahit di lapangan. Di Indonesia, istilah “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” telah menjadi ungkapan populer yang menggambarkan ketimpangan dalam penegakan hukum. Ungkapan ini bukan sekadar kiasan, melainkan cerminan dari krisis moral dan profesionalitas dalam sistem hukum nasional kita.
Fenomena ketimpangan hukum sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak masa Orde Baru hingga era reformasi saat ini, kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat atau orang berpengaruh sering kali berakhir dengan vonis ringan, bahkan ada yang bebas tanpa hukuman. Sementara itu, rakyat kecil yang melakukan pelanggaran ringan sering dihukum berat tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial.
Sebagai contoh, masih banyak pemberitaan tentang masyarakat miskin yang ditahan karena mencuri makanan atau barang sepele untuk bertahan hidup. Di sisi lain, pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah bisa menikmati hukuman ringan, mendapat fasilitas istimewa di penjara, bahkan tetap hidup mewah di balik jeruji besi. Fakta seperti ini menegaskan bahwa asas “equality before the law” — kesetaraan di hadapan hukum — masih sebatas teori, belum menjadi kenyataan.
Baca Juga: Honda Banten Kenalkkan New Honda ADV 160, Begini Spesifikasinnya
Mengapa hal ini terus terjadi? Jawabannya terletak pada relasi antara hukum, kekuasaan, dan uang. Dalam praktiknya, hukum di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Penegakan hukum sering kali menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai penjaga keadilan. Banyak kasus besar yang mandek karena pelakunya memiliki posisi strategis atau hubungan dekat dengan pihak berwenang.
Selain itu, mentalitas aparat penegak hukum juga menjadi persoalan serius. Korupsi di lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan masih sering terjadi. Uang bisa membeli keadilan, dan keadilan bisa dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Akibatnya, hukum kehilangan independensi dan kepercayaannya di mata publik.
Tidak kalah penting, minimnya literasi hukum masyarakat membuat rakyat kecil sering kali tidak mampu membela haknya. Mereka tidak tahu prosedur hukum, tidak mampu membayar pengacara, dan akhirnya pasrah pada putusan yang tidak adil. Dalam kondisi seperti ini, hukum justru menjadi alat penindasan, bukan pelindung.
Baca Juga: Tanda Kesolidtan, Fahmi Hakim Serukan Kebangkitan Kader Golkar di Kabupaten Serang
Ketimpangan dalam penegakan hukum menimbulkan dampak yang serius terhadap kehidupan berbangsa. Pertama, turunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Ketika masyarakat merasa hukum tidak adil, maka mereka akan mencari jalan lain untuk mendapatkan keadilan, bahkan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Ini dapat memicu ketidakstabilan sosial dan menurunnya wibawa negara hukum itu sendiri.
Kedua, munculnya apatisme sosial. Masyarakat menjadi enggan melapor atau memperjuangkan kebenaran karena merasa percuma. Ketika rakyat tidak lagi percaya kepada hukum, maka keadilan menjadi konsep yang hampa. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama dalam membangun sistem hukum yang kuat dan berwibawa.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, perlu dilakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem hukum nasional, terutama dalam tiga aspek: kelembagaan, integritas, dan budaya hukum.
Baca Juga: CMSE 2025 Usung Tema Pasal Modal Untuk Rakyat
Pertama, reformasi kelembagaan harus memastikan bahwa lembaga penegak hukum benar-benar independen dari pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi. Seleksi aparat penegak hukum harus dilakukan secara transparan, profesional, dan berbasis integritas, bukan karena kedekatan atau kepentingan tertentu.
Kedua, penegakan kode etik dan sanksi tegas terhadap aparat yang melakukan pelanggaran perlu diperkuat. Integritas penegak hukum adalah kunci utama. Tanpa kejujuran, hukum akan selalu bisa diperdagangkan.