Profil Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Penulis Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck

photo author
- Kamis, 3 Februari 2022 | 13:55 WIB
Ilustrasu foto Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka  (@davinAzalia)
Ilustrasu foto Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (@davinAzalia)

TOPMEDIA – Buya Hamka Lahir pada 17 Februari 1908 di Nagari Sungai Batang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang ulama, sehingga Hamka dibesarkan dengan nilai-nilai Islam yang kuat.

Buya Hamka meneruskan sekolah agama di Diniyah School, yang membuatnya pandai berbahasa Arab. Ia lalu melanjutkan sekolahnya ke Thawalib di Padang Panjang untuk menghapal kitab klasik, nahwu, dan shorof, juga syair berbahasa Arab.

Buya Hamka juga sempat belajar di Mekah namun kemudian kembali ke tanah air setelah tamat. Namun sebagai remaja normal, Hamka dikisahkan juga suka menonton film di bioskop, demikian dikutip laman fkip.umri.ac.id. Dari situ kecintaannya pada sastra makin besar.

Baca Juga: Sinopsis Film Luca Produksi Pixar Penuh Nostalgia dan Emosi

Selain piawai dalam bidang agama yang membawanya menjadi seorang tokoh agama yang disegani, Hamka dewasa juga adalah seorang sastrawan, sekaligus guru, dan jurnalis.

Di tengah kecamuk penjajahan, Hamka lalu terjun pula di bidang politik dan menjadi anggota Partai Masyumi. Setelah partai tersebut dibubarkan, Hamka aktif di Muhammadiyah serta sempat menjabat Ketua MUI yang pertama.

Ketokohan Hamka membuat sebuah universitas milik Muhammadiyah memakai namanya, yakni Universitas Hamka. Jasanya dalam bidang politik di saat pergerakan kemerdekaan membuat Hamka mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Baca Juga: Sinopsis Film Pendek Lembusura, Setan Penjaga Gunung Api

Karya Novel Hamka yang paling populer adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah serta Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Tenggelamnja Kapal van der Wijck (EYD: Tenggelamnya Kapal van der Wijck) adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka.

Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.

Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa.

Baca Juga: Pixar Dalam Kemajuan Film Animasi Amerika

Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar menyebut Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka. Tuduhan penjiplakan. Pada bulan September 1962, Abdullan S.P.—nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer—yang memuat tulisannya ke dalam koran Bintang Timur menyebutkan bahwa novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dijiplak dari Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr, melalui terjemahan berbahasa Arab oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti.

Desas-desus penjiplakan sudah lama ada.Hal ini menjadi polemik luas dalam pers Indonesia.Sebagian besar orang yang menuduh Hamka berasal dari Lekra, sebuah organisasi sastra sayap kiri yang berafiliasi dengan PKI.

Ilustrasi foto kulit muka novel Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka
Ilustrasi foto kulit muka novel Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (@davinAzalia)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Fuad Fauji

Sumber: ulasan novel Indonesia modern

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X