Menteri AHY mengungkapkan kasus kedua yaitu melibatkan dua tersangka dari 37 korban yang jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah.
Meski begitu, kata AHY, tersangka RD menyalin puluhan sertifikat hak milik orang tuanya yang dibantu tersangka PS.
“Jadi untuk modus operandinya adalah menduplikasi sertifikat, di mana tersangka RD meminta tersangka PS membuat sertifikat palsu dengan menggandakan sertifikat atas nama keluarganya,” ucapnya.
Menteri ATR/BPN itu menerangkan, puluhan sertifikat yang dipalsukan tersangka seperti perubahan nama pemegang hak Nomor Induk Berusaha (NIB), nomor hak sertifikat, dan nama pemiliknya.
"Sebanyak 39 sertifikat dilakukan perubahan pada atas nama pemegang hak NIB, nomor hak sertifikat, dan nama pejabat (pemilik)," bebernya.
AHY juga mengungkap, sertifikat palsu itu digunakan Tersangka RD untuk menjadi jaminan utang kepada para korban dengan potensi kerugian menilai Rp3,9 miliar.
"Atas terungkapnya kasus (kedua) ini, maka yang terselamatkan real loss atas laporan 37 korban tadi dan 39 sertifikat hak milik itu sekitar kurang lebih Rp3,9 miliar," tandasnya.
Perhitungan Kerugian Dua Kasus Mafia Tanah di Kabupaten Bekasi
Menteri AHY mengungkap fiscal loss (kerugian fiskal) berdasarkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPH) sebesar Rp1,608 triliun.
"Fiscal loss berdasarkan BPHTB dan PPH dihitung sebesar Rp1,608 triliun," ungkapnya.
Menteri ATR/BPN itu juga mengungkap total kerugian dari dua kasus mafia tanah tersebut adalah Rp183,5 miliar.
Di sisi lain, AHY mengatakan total kerugian yang dapat diselamatkan sebesar Rp179,4 miliar berdasarkan real loss, fiscal loss, dan potential loss.
Terkait potential loss (potensi kerugian), AHY menyebut kasus mafia tanah yang berada di atas lahan yang akan dibangun MRT itu sebesar Rp30 triliun, berdasarkan laporan yang diterimanya dari Kementerian Perhubungan.
"Potential loss dari proyek besar MRT tadi bisa dikatakan untuk wilayah Bekasi ini sehingga mencapai Rp30 triliun," tandasnya.***