• Pelanggaran dan Dampak Lingkungan
Greenpeace dan studi lainnya mencatat luas ekosistem rusak: deforestasi ratusan hektare, sedimentasi berat yang menutupi terumbu karang, dan pencemaran perairan. Lokasi tambang mencakup hutan lindung dan wilayah adat — ada dugaan pelanggaran hukum dengan izin di lokasi yang seharusnya dilindungi.
Baca Juga: Anggota DPRD Banten Dizolimin BPN, Cek Fakta Sengketa Lahan di Kota Serang
• Penolakan Masyarakat Adat & Sektor Pariwisata
Masyarakat adat (Suku Betew, Maya, Kawei) menolak izin tambang di Pulau Batan Pele/Pulau Manyaifun seluas ±2.193 ha karena tidak melibatkan mereka dan dikhawatirkan merusak sumber nafkah melalui laut dan ekowisata. Pelaku ekowisata lokal memperingatkan penurunan kualitas air dan kehancuran sektor pariwisata jika kegiatan ini dilanjutkan.
Keseimbangan antara Ekonomi dan Ekologi
Kisah tambang nikel di Raja Ampat menjadi simbol tarik-ulur antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Di satu sisi, eksploitasi sumber daya alam menjadi motor pertumbuhan, namun di sisi lain, kelestarian kawasan konservasi yang rentan menjadi taruhan besar.
Pakar lingkungan menilai bahwa proyek-proyek berskala besar di wilayah sensitif seperti Raja Ampat harus melewati serangkaian kajian transparan, termasuk konsultasi publik dan analisis risiko jangka panjang.
Penghentian sementara tambang nikel di Raja Ampat bukan sekadar penegakan aturan, tetapi juga sinyal bahwa Indonesia mulai menempatkan kelestarian lingkungan sebagai prioritas nasional. Langkah ke depan harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat, audit yang kredibel, dan komitmen penuh dari pemilik tambang agar kelestarian dan kesejahteraan dapat berjalan beriringan.***