Capai Rp 4.907 Triliun, Utang Luar Negeri Indonesia Masih Dibawah Jepang

photo author
- Selasa, 17 April 2018 | 18:00 WIB
Utang Luar Negeri/Ilustrasi (Foto:Net)
Utang Luar Negeri/Ilustrasi (Foto:Net)

SERANG, TOPmedia - Utang Indonesia mencapai USD 356,23 miliar atau setara dengan Rp 4.907 triliun. Utang Indonesia tersebut, bisa dibilang belum seberapa jika dibandingkan dengan utang luar negeri Jepang, yang mencapai USD 11.813 miliar

Rahmat Hernowo, mantan analis senior Bank Indonesia (BI) di Tokyo, Jepang, menerangkan kalau nilai utang Jepang mencapai 250 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nya. Namun Indonesia hanya sebesar 30 persen.

"UU mengatakan hutang maksimal 60 dibandingkan PDB. Ada istilah primary balancr, apakah penerimaan bulan itu bisa menutupi hutang itu," kata Rahmat Hernowo, saat ditemui di kantornya, Selasa (17/04/2018).

Utang pemerintah Indonesia sendiri terdiri dari, utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 181,4 miliar (Rp 2.498 triliun), serta utang swasta USD 174,8 miliar (Rp 2.408 triliun). Utang luar negeri per akhir Februari tersebut tumbuh sebesar 9,5 persen (yoy), melambat dibanding bulan sebelumnya sebesar 10,4 persen (yoy).

Porsi utang luar negeri pemerintah sendiri tercatat mencapai USD 177,85 miliar. Ini  terdiri dari SBN (SUN dan SBSN/Sukuk Negara) yang dimiliki oleh non-residen sebesar USD 121,5 miliar dan pinjaman kreditur asing sebesar USD 56,3 miliar.

Sementara utang Bank Indonesia sebesar USD 3,54 miliar. Total utang ini tercatat turun dibanding bulan sebelumnya yang mencapai USD 183,39 miliar.

Sementara itu, biaya utang luar negeri pemerintah dikatakan semakin rendah seiring dengan meningkatnya kepercayaan investor terhadap Indonesia, yang didukung membaiknya fundamental perekonomian dan peringkat utang Indonesia.

Sedangkan, porsi utang swasta tercatat sebesar USD 174,83 miliar. Utang luar negeri swasta juga terbagi menjadi utang lembaga keuangan dan lembaga non keuangan.

PDB Indonesia, pada akhir Februari 2018, tercatat stabil di kisaran 34 persen. Rasio tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara peers.

"Prinary balance kita masih negatif sejak tahun 2011. Mulai di switch tahun 2014. Jadi waktu itu, APBN kita besar di subsidi. Sama Bu Sri Mulyani, harga BBM di naikkan. Nanti terasa nya 10 tahun kemudian," ujarnya. (YDtama/Red)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X