LEBAK, TOPmedia - Infastruktur jalan masih menjadi salah satu kendala utama bagi masyarakat di Desa Kadurahayu, Kecamatan Bojongmanik, Kabupaten Lebak dalam hal keselamatan ibu dan bayi saat melahirkan.
Seperti yang dialami Wilyani Efendy (25), Bidan Desa (Bindes) di Desa Kadurahayu, Kecamatan Bojongmanik, Kabupaten Lebak, sudah tiga tahun mengabdi untuk pemerintah di bidang kesehatan.
Jauh dari bising Kota, Wilyani harus siap melayani masyarakat selama 24 jam di tengah buruknya infrastruktur jalan yang tidak memadai.
“Begitulah kalau seorang bidan desa. Berat-berat juga dijalanin,” katanya, kepada awak media, Minggu (12/5/2019).
Wily sapaan akrabnya menceritakan, akibat infrastruktur yang kurang memadai pernah seorang ibu hamil harus digotong melalui jembatan gantung menuju fasilitas kesehatan.
"Mobil dari rumah pasien cuman bisa sampai diujung jembatan. selelebihnya kami harus melewati jembatan gantung ini dengan cara digotong dan dijemput oleh mobil satunya lagi diujung jembatan,” ujar wanita asal Bojongmanik itu.
Hal itu dilakukan, karena memang sulitnya mencari jalan alternatif yang cepat untuk menyelamatkan pasien, dan juga sulitnya Insfratruktur jadi mobil ambulans hanya bisa sampai ujung jembatan.
Dikatakan Wily jembatan tersebut benar-benar yang terbilang lebih dekat dari kediaman pasien di Desa Kadurahayu menuju fasilitas kesehatan. Diceritakan Wily bukan tidak ada jalan lain, melainkan kondisi jalan yang rusak tidak memungkinkan untuk dilintasi kendaraan roda empat.
“Kalau jalan lain yang bisa dilalui mobil itu jauh lagi. Hampir 2 jam-an, karena harus melewati kecamatan lain, sedangkan pasien ini harus segera ditangani," ucapnya.
Sebab, ibu hamil mengalami ratensio plasenta (plasenta bayi belum keluar selama lebih dari 30 menit dari bayi lahir). Untuk mempercepat memilih jalan ke Kampung Poleng di Desa Mekarahayu.
Sulitnya medan jalan membuatnya sering dihadapkan hal seperti itu saat bertugas. Sementara masyarakat sendiri terbilang sulit untuk diajak ke Puskesmas saat melakukan persalinan.
Wily membeberkan, kondisi jalan yang tidak memadai yang kebanyakan dijadikan alasan masyarakat untuk lebih memilih melahirkan di desa saja.
“Sementara kami diwajibkan membawa pasien untuk melahirkan di Faskes dan untuk menolong persalinan itu minimal harus 4 tangan bidan. Jadi tingkat stresnya bidan menolong lahiran di desa itu lebih tinggi daripada menolong lahiran di Puskesmas,” ujarnya.
Menghadapi persoalan itu, wanita lulusan Akbid Salsabila tahun 2015 itu. Tak jarang harus sering berkonsultasi dengan koordinator bidan dan sesama bidan Desa lainnya guna menemukan solusi yang baik untuk pelayanan terhadap masyarakat.