SERANG, TOPmedia - Banten meski mendapatkan julukan 'Negeri Seribu Kyai, Sejuta Santri' nyatanya menyimpan toleransi yang sangat tinggi. Ditengah perayaan Imlek, Vihara Avalokitesvara yang berdiri tahun 1662 merayakannya secara sederhana.
Vihara yang berlokasi di Kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang ini, menjadi salah satu simbol kerukunan antar umat beragama dan keanekaragaman budaya di ujung barat pulau Jawa.
"Kalau ada keramaian Cina, untuk orang-orang tua, tidak afdol (lengkap) kalau tidak ziarah ke makam Sultan. Udah puluhan tahun. Bisa jadi penghormatan, bisa jadi sudah menjadi keyakinan mereka," kata Ketua Kenadziran Kesultanan Banten, Tubagus Abbas Wasse, saat ditemui dikediamannya yang terletak tepat di belakang Masjid Agung Banten, Sabtu (28/01/2017).
Vihara yang lokasinya hanya sekitar satu kilometer dari Masjid Agung Kesultanan Banten ini pun berdekatan dengan pemakaman Belanda yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
"Di dekat vihara ada juga pemakaman Belanda. Di sini juga ada perumahan Cina Tiongkok. Banyak juga ditemukan keramik dari dinasti Ming, dinasti Ching," tegasnya.
Namun sayang, saat ingin meminta keterangan dari Asaji, selaku humas Vihara Avalokitesvara, yang bersangkutan tak ada di lokasi.
Berdasarkan sejarahnya, Vihara Avalokitesvara pernah mengalami perpindahan beberapa lokasi, seperti di tahun 1659, vihara ini menempati Loji Belanda, lalu ditahun 1725 pindah di bagian selatan menara Masjid Pecinan Tinggi, hingga akhirnya ditahun 1774 Masehi menempati Kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang hingga saat ini.
Banten yang saat itu sebuah kesultanan besar dengan pelabuhan Karangantu yang terkenal ke seantero dunia membuat seorang putri bernama Ong Tin Nio bersama Anak Buah Kapal (ABK), dalam perjalanan dari Cina menuju Surabaya, memutuskan bermalam di Pamarican yang merupakan daerah penghasil merica.
Putri Ong pun merasa betah tinggal di Banten dan mendirikan vihara yang awalnya berada di bekas kantor bea (douane). Namun kehadirannya oleh masyarakat sekitar dapat merusak akidah dan kebudayaan mereka.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah pun menegur keras masyarakat Banten dan memediasi antara kedua belah pihak. Sunan Gunung Jati pun menjelaskan bahwa tidak ada paksaan memeluk agama dalam Islam.
Setelah masalah dapat diselesaikan, Sunan Gunung Jati pun menawarkan kepada sang putri dan pengikutnya untuk memeluk Islam tanpa adanya paksaan. Hingga akhirnya, sang Putri yang cantik jelita beserta pengikutnya pun menjadi mualaf.
Kedatangan masyarakat Tiongkok ke Banten memiliki banyak Fersi, ada yang menyebutkan bahwa masyarakat Cina datang ke Kesultanan Banten sekitar abad 17 masehi dengan bukti pada abad tersebut, banyak ditemukan perahu Cina yang berlabuh di Banten dengan tujuan berdagang dan barter dengan lada.
Berdasarkan catatan sejarah dari J. P. Coen sendiri, banyak perahu Cina yang membawa dagangan senilain 300 ribu real. Dimana, dalam kelanjutannya, masyarakat Cina tak hanya berdagang, tapi bermukim di Banten dengan lebih dari 1.300 kepala keluarga (KK). (YDtama/Red)