Kebutuhan pokok menjadi barang mewah yang tidak terjangkau, menyebabkan kemiskinan yang meluas dan ketegangan sosial.
Baca Juga: Striker Vietnam, Nguyen Tien Mengaku Tidak Takut Dengan Pemain Naturalisasi Indonesia
Ekonomi jatuh ke dalam kekacauan, dengan bisnis gulung tikar, pengangguran melonjak, dan layanan penting runtuh.
Menyikapi krisis tersebut, Zimbabwe meninggalkan mata uangnya sendiri pada tahun 2009, mengadopsi sistem multi-mata uang yang didominasi oleh dolar Amerika Serikat.
Namun langkah ini berhasil menstabilkan harga sampai pada tingkat tertentu, tetapi tidak menangani masalah struktural yang mendasari yang menghantui perekonomian. Ketidakstabilan politik, korupsi, dan kurangnya kepercayaan investor terus menghambat upaya pemulihan Zimbabwe.
Kasus Zimbabwe menjadi pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan di seluruh dunia, menyoroti dampak yang menghancurkan dari ketidakbertanggungjawaban fiskal dan pengelolaan ekonomi yang buruk.
Hal tersebut menekankan pentingnya kebijakan makroekonomi yang bijaksana, tata kelola yang hati-hati, dan penghormatan terhadap hak kepemilikan dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Video Viral di TikTok Sebut Megathrust Lumpuhkan Jakarta, BMKG: HOAX!
Meskipun menghadapi tantangan besar, Zimbabwe telah menunjukkan tanda-tanda ketahanan dan potensi pemulihan dalam beberapa tahun terakhir.
Kedanti demikian, untuk mengatasi masalah struktural yang dalam dan mengembalikan kepercayaan terhadap ekonomi, diperlukan upaya bersama, baik secara domestik maupun internasional.
Hanya melalui reformasi komprehensif dan kepemimpinan yang bertanggung jawab, Zimbabwe dapat mengatasi luka dari hiperinflasi dan memulai langkah menuju pertumbuhan dan kemakmuran yang berkelanjutan.