Viral menjadi semacam alarm darurat yang menggantikan fungsi pengawasan formal. Dan itulah tanda paling jelas bahwa ada yang tidak beres dalam sistem hukum kita.
Baca Juga: Bergerak Bersama Peduli Bencana, JNE Gratiskan Ongkir Bantuan ke Aceh, Sumbar, Sumut, dan Sekitarnya
Karena itu, fenomena “No Viral, No Justice” harus dibaca sebagai panggilan yang mendesak—bukan hanya untuk aparat, tetapi untuk seluruh sistem hukum. Negara perlu membangun layanan laporan yang responsif, transparan, dan ramah terhadap korban. Pengawasan internal harus diperkuat, bukan sekadar formalitas. Proses hukum harus berjalan karena integritas, bukan karena tekanan viral.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu bijak menggunakan media sosial. Mengawal kasus boleh, menyuarakan keadilan perlu, tetapi menghakimi tanpa proses justru mencederai nilai yang ingin kita perjuangkan.
Pada akhirnya, keadilan tidak boleh lahir dari sorotan massa. Keadilan harus hadir bahkan ketika tidak ada satu pun kamera yang merekam.
Baca Juga: Wali Kota Serang Budi Rustandi Luncurkan 6 Ambulans TRC 112, Siaga Darurat 12 Jam
Negara tidak boleh bekerja hanya karena dipaksa untuk terlihat; negara harus hadir karena itulah kewajibannya. Jika hukum hanya bergerak ketika viral, maka yang sebenarnya rusak bukan masyarakat, melainkan sistem yang seharusnya melindungi mereka.***
Artikel Terkait
Wali Kota Serang Budi Rustandi Luncurkan 6 Ambulans TRC 112, Siaga Darurat 12 Jam
Bergerak Bersama Peduli Bencana, JNE Gratiskan Ongkir Bantuan ke Aceh, Sumbar, Sumut, dan Sekitarnya
Step Up dengan Generasi Terbaru, All New Honda Vario 125 Semakin Keren dan Sporti
Pertamina Patra Niaga Regional JBB Perkuat Pengelolaan Limbah Berbasis Vermikompos
Fokus Kembangkan Banten Selatan, Begini Strategi Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia
Perluas Akses Keuangan Syariah Di DKI Jakarta, OJK Resmikan Epiks Di Pondok Pesantren Minhaajurrosyidiin
Transformasi Hukum Pidana Indonesia Menjelang Pemberlakuan KUHP 2026