SITI NUR AJIZAH, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Pamulang Serang
TOPMEDIA.CO.ID - Di atas kertas, hukum menjanjikan keadilan yang setara bagi setiap warga negara. Namun di lapangan, keadilan kerap terasa seperti barang mahal yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki uang, waktu, dan pengetahuan.
Bagi masyarakat kecil, berhadapan dengan hukum sering kali bukan soal benar atau salah, melainkan soal sanggup atau tidak menanggung biayanya.
Proses hukum identik dengan ongkos perkara, jasa pendampingan yang mahal, dan prosedur berbelit. Tidak sedikit warga akhirnya memilih diam atau mengalah, bukan karena bersalah, tetapi karena tidak mampu bertahan dalam proses yang panjang dan melelahkan.
Baca Juga: Keadilan sebagai Hak, Bukan Kemewahan
Dalam kondisi seperti ini, hukum gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan justru berubah menjadi sumber ketakutan.
Ketimpangan akses semakin nyata ketika pengetahuan hukum menjadi pembeda. Mereka yang paham hukum dan memiliki sumber daya dapat dengan mudah memanfaatkan celah sistem, sementara masyarakat awam terjebak dalam ketidaktahuan. Keadilan pun tampak condong ke satu sisi, meninggalkan kelompok rentan tanpa perlindungan yang memadai.
Negara memang menyediakan bantuan hukum gratis, tetapi realitasnya masih jauh dari harapan. Lembaga bantuan hukum terbatas, distribusinya timpang, dan stigma terhadap pencari bantuan hukum masih kuat. Akibatnya, hak konstitusional atas keadilan sering berhenti sebagai formalitas kebijakan.
Lebih ironis lagi, keadilan juga dibayar dengan waktu. Bagi masyarakat kecil, menghadiri sidang berarti kehilangan penghasilan hari itu. Menunggu putusan berarti menunda kepastian hidup. Dalam sistem seperti ini, memperjuangkan keadilan justru dapat memperdalam kemiskinan.
Jika keadilan terus dipraktikkan dengan cara seperti ini, jangan heran jika kepercayaan publik runtuh. Ketika hukum terasa jauh dan mahal, masyarakat akan mencari keadilan dengan caranya sendiri—melalui tekanan massa, viralitas media sosial, atau bahkan jalan kekerasan. Negara hukum pun kehilangan wibawanya.
Sudah saatnya keadilan ditarik kembali ke tangan rakyat. Penyederhanaan prosedur, aparat yang berempati, dan literasi hukum yang merata bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Baca Juga: Inflasi Banten 2,56 Persen Lebih Rendah dari Nasional, Ini Penjelasan BI Banten
Selama keadilan masih terasa mahal, hukum belum benar-benar berpihak pada semua.***
Artikel Terkait
Mahasiswa STIKes Salsabila Serang Raih Juara 2 Duta Genre Banten 2025
Komunitas Prabu Anak Muda di Unyur Lakukan Gerakan Bersih Bersih Masjid
Ibukota Banten Diklaim Bebas Banjir, Walikota Serang Pantau Langsung Ditengah Malam
OJK Banten Konsen Pada Literasi Keuangan Digital, Materi Economic Outlook 2026
Inflasi Banten 2,56 Persen Lebih Rendah dari Nasional, Ini Penjelasan BI Banten
Antara Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan: Problematika Putusan Pengadilan dalam Sengketa Keluarga Publik Figur di Era Digital
Keadilan sebagai Hak, Bukan Kemewahan