SERANG,TOPmedia – Indikasi korupsi Penyaluran Dana Hibah Pondok Pesantren yang bersumber dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Banten Tahun Anggaran (TA) 2020 sebesar Rp. 117 Miliar, dan sebelumnya juga Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten telah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka terus menjadi sorotan publik.
Baru-baru ini, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI) juga ikut melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar bisa diusut. Mereka menilai, bahwa Gubernur Banten harus beranggung jawab atas terjadinya kasus korupsi dana hibah untuk pesantren.
Kuasa hukum Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten, Asep Abdullah Busro menegaskan, jika kasus dugaan pemotongan hibah bantuan pondok pesantren (ponpes) tahun anggaran 2020 berbeda dengan kasus hibah Pemprov Banten tahun anggaran 2011.
Menurut Asep, dalam kasus hibah Pemprov Banten yang menjerat mantan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Pemprov Banten yang sekarang berubah menjadi Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) pada 2011 lalu sangat jauh berbeda dengan kasus hibah bantuan ponpes 2020 dan saat ini tengah ditangani oleh Kejati Banten.
"Pada 2011 ada pemotongan (hibah) yang melibatkan mantan pejabat Pemprov Banten ZM (Zaenal Muttaqien). Dimana (uang) hibah saat itu di ambil 90 persen dan disisakan 10 persen. Berbeda saat ini, dana hibah langsung masuk ke rekening lembaga penerima hibah ponpes tidak ada pemotongan yang dilakukan oleh institusi Pemprov Banten. Yang ada setelah diterima lalu dipotong. Jadi oknumnya swasta itu perbedaan signifikan," kata Asep saat menjadi narasumber pada dialog Ramadhan di Plaza Aspirasi, KP3B, Curug, Kota Serang, Jumat (30/4/2021) malam.
Perbedaan lainnya, yaitu pemotongam dilakukan secara parsial oleh oknum swasta, bukan by desain yang sengaja dilakukan, sehingga kasus ini, kata dia, hanya kasus-kasus biasa lainnya, tidak ada uang negara mencapai ratusan miliar rupiah yang dipotong. Adapun sifatnya hanya uang caseback atau istilahnya uang solawat yang diberikan dari pemilik ponpes kepada para pelaku, karena uang yang disalurkan telah masuk kerekening langsung penerima, tidak ada pemotongan saat penyaluran.
"Jadi (pemotongan) ngga seluruhnya, tapi parsial saja oknumnya. Nanti boleh tinggal di kroscek ke Kajati," katanya.
Dirinya juga memastikan, proses penyaluran hibah sudah sesuai dengan mekanisme dan tak melanggar aturan perundang-undangan.
"Khusus (kasus hibah) ini, saya sebagai pengacara Pemprov Banten menyampaikam bahwa Pemprov Banten dan Bapak Gubernur Banten sudah melaksanakan (hibah) sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku. Dan Pak Gubernur sudah melakukan itu semua," jelasnya.
"Dalam aturan kan disebut penyaluran hibah harus melalui mekanisme verifikasi, pengajuan, penandatanganan NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) lalu penyaluran," sambungnya.
Menurut Asep, dalam proses penyaluran hibah telah menggunakan sistem yakni e-hibah. "Ngga ada interaksi fisik. Soal pengajuam lembaga pemohon. Jadi ketika masuk (sistem) pemprov juga lakukan verifikasi baik faktual maupun yuridis lalu dikoordinasikan dengan TAPD (Tima Anggaran Pemerintah Daerah). Dan pemohon hibah juga disesuaikan dengan daya dukung fiskal pemerintah. Ngga mungkin 100 persen disetujui karena ada skala priositas pembangunan," katanya.
Saat pengumpulan datanya pun, masih kata Asep, Pemprov Banten sifatnya pasif atau tidak mencari-mencari calon penerima dana bantuan, Pemprov Banten menunggu usulan dari para pemohon bantuan hibah, kemudian mulai mendistribusikan bantuan kepada Ponpes yang memenuhi persyaratan tanpa ada kontak langsung dengan para pemilik.
Terkait adanya tuntutan agar KPK turun ke Banten menyelidiki kasus dugaan bantuan dana hibah Pemprov Banten tahun 2020, masih kata Asep, pihaknya beranggapan hal tersebut tidak perlu, dikarenakan pada SKB sebelumnya antara tiga aparat penegak hukum, mulai dari pihak kepolisian, kejaksaan dan KPK semua ada tahapannya.
"Adapun pun dalam Impresnya, jika kasus tersebut mandeg, barulah KPK bisa turun. Kalau ini kan Kejati sudah menetapkan tersangkanya dan kasusnyapun terus berjalan. Sehingga sepertinya tidak perlu KPK sampai turun. Apalagi kasusnya sifatnya parsial, bukan by desiain," katanya.