Penulis: Dhea Kusniati (Mahasiswa Ilmu Hukum Unpam Kampus Serang)
TOPMEDIA.CO.ID - Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat mengonsumsi dan menilai proses hukum. Salah satu dampak paling nyata terlihat dalam perkara sengketa keluarga yang melibatkan publik figur.
Proses peradilan yang sejatinya bersifat privat dan berorientasi pada perlindungan hak para pihak, kini kerap berubah menjadi konsumsi publik melalui media digital.
Kondisi ini menimbulkan persoalan serius, terutama ketika putusan pengadilan dinilai hanya memenuhi kepastian hukum secara normatif, tetapi belum tentu mencerminkan rasa keadilan substantif di mata masyarakat.
Baca Juga: Inflasi Banten 2,56 Persen Lebih Rendah dari Nasional, Ini Penjelasan BI Banten
Dalam teori hukum klasik, kepastian hukum merupakan salah satu tujuan utama hukum. Putusan hakim diharapkan konsisten dengan peraturan perundang-undangan agar tercipta keteraturan dan prediktabilitas. Namun, dalam konteks sengketa keluarga, khususnya perceraian dan hak asuh anak, hukum tidak dapat dipahami semata-mata sebagai teks normatif.
Hubungan keluarga menyangkut aspek emosional, psikologis, dan sosial yang kompleks, sehingga penerapan hukum secara kaku justru berpotensi mengabaikan keadilan yang sesungguhnya.
Masalah menjadi semakin kompleks ketika perkara tersebut melibatkan publik figur. Sorotan media dan tekanan opini publik sering kali memengaruhi persepsi masyarakat terhadap putusan pengadilan. Putusan yang secara hukum sah dan prosedural dapat dipersepsikan tidak adil karena potongan informasi yang beredar di media sosial bersifat parsial, bahkan manipulatif. Akibatnya, pengadilan kerap ditempatkan dalam posisi dilematis:
Baca Juga: OJK Banten Konsen Pada Literasi Keuangan Digital, Materi Economic Outlook 2026
di satu sisi harus berpegang pada hukum positif, di sisi lain dihadapkan pada tuntutan moral dan empati publik.
Dalam perspektif keadilan substantif, hukum seharusnya tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga mempertimbangkan dampak putusan bagi para pihak, terutama anak sebagai subjek hukum yang rentan.
Dalam banyak perkara keluarga, putusan yang berorientasi pada legalitas formal sering kali belum sepenuhnya menjawab kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Baca Juga: Ibukota Banten Diklaim Bebas Banjir, Walikota Serang Pantau Langsung Ditengah Malam
Padahal, prinsip ini telah menjadi doktrin penting dalam hukum keluarga modern dan diakui secara luas dalam sistem hukum Indonesia.
Era digital juga menimbulkan persoalan baru berupa trial by social media. Opini publik terbentuk lebih cepat dibandingkan proses peradilan itu sendiri. Hakim, meskipun secara normatif independen, tetap berada dalam ruang sosial yang tidak sepenuhnya steril dari tekanan eksternal.