Penulis: Winda Aryati (Mahasiswi Ilmu Hukum Unpam PSDKU Serang)
TOPMEDIA.CO.ID - Kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 berhubungan dengan hukum internasional melalui pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Tindakan junta militer, yang menggulingkan pemerintahan sah Aung San Suu Kyi, mendapat kecaman global karena melanggar kewajiban internasional Myanmar sebagai anggota PBB.
Hukum internasional tidak secara tegas mengatur kudeta, namun prinsip non-intervensi dan Responsibility to Protect (R2P) menjadi perdebatan mengenai hak komunitas internasional untuk campur tangan. Situasi ini menciptakan dilema antara kedaulatan negara dan perlindungan hak asasi manusia.
Kudeta terbaru berlangsung pada 1 Februari 2021, setelah Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangkan pemilu. Militer menuduh adanya kecurangan dan menahan pemimpin NLD, Aung San Suu Kyi.
Kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 melanggar beberapa prinsip hukum internasional, termasuk:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Tindakan represif terhadap masyarakat sipil, penangkapan sewenang-wenang, dan kekerasan terhadap demonstran dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.
Genocide Convention ketika Myanmar dituduh melanggar konvensi ini terkait penindasan etnis Rohingya, yang sedang diproses di Mahkamah Internasional.
Dan Krisis Kemanusiaan ketika Kudeta memperburuk situasi pengungsi dan hak-hak kelompok minoritas, berpotensi dikategorikan sebagai crimes against humanity.
Respon internasional termasuk sanksi dari berbagai negara untuk menekan junta militer.
Adapun Solusi untuk kasus kudeta Myanmar melibatkan lima poin konsensus yang disepakati oleh ASEAN. Poin-poin tersebut mencakup Hentikan kekerasan segera dan semua pihak harus menahan diri.
Baca Juga: Pemkot Cilegon Siap Selesaikan Tanggung Jawab Pembayaran Pekerjaan 2024 ke Pihak Ketiga
Dialog konstruktif antara semua pihak untuk mencari solusi damai, Fasilitasi mediasi oleh utusan khusus ASEAN dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN.