Pasal 3 huruf UU SPPA menyatakan bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak untuk tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.
Lebih lanjut, Pasal 81 ayat Ayat (6) UU SPPA secara tegas mengatur bahwa apabila tindak pidana yang di lakukan oleh anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun.
Ketentuan tersebut secara limitatif telah mengatur batas maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak. Hal ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang melarang hukuman mati dan penjara seumur hidup atas tindak pidana yang dilakukan anak di bawah usia 18 tahun.
Baca Juga: Dinkes Kota Cilegon Sukses Borong 22 Penghargaan Bergengsi di HKN ke-60
Konveksi Hak Anak juga mengatur bahwa segala tindakan yang menyangkut anak harus menjadikan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama, termasuk tindakan yang dilakukan oleh badan peradilan.
Hal ini telah diadopsi oleh UU SPPA yang menyatakan bahwa salah satu asas peradilan pidana anak adalah kepentingan terbaik bagi anak.Oleh karena itu, hukuman pidana tetap harus mengedepankan kepentingan anak karena masa depannya masih sangat panjang.
Dengan demikian, menjatuhkan pidana mati tidak sesuai dengan asas kepentingan terbaik bagi anak dan tentu dapat memberikan preseden buruk terhadap Indonesia di mata internasional.
Baca Juga: Gus Miftah Mundur dari Jabatan Staf Khusus Presiden, Netizen Soroti Olokan Pendakwah ke Yati Pesek
Namun, pendapat dalam kajian JPU tersebut merupakan bagian dari ius constituendum, yakni hukum yang dicita-citakan dimasa mendatang, bukan hukum yang berlaku saat ini, sehingga hal ini tidak layak untuk dijadikan dasar ultra petita.
Di dalam menjatuhkan putusan, hakim memang memiliki kebebasan, tetapi kebebasan tersebut bukan berarti tidak ada batasannya. Hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman melebihi batasan ancaman maksimum pada pasal yang terkandung dalam undang undang.
Hakim hanya diperbolehkan menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari ancaman minimum khusus.
Baca Juga: Penyebab Kebakaran Kemayoran Diduga Dari Korsleting Listrik, Si Jago Merah Lalap 100 Rumah
Uu SPA Wajib Direvisi
Dengan melihat ketentuan UU SPPA dan Konvensi Hak Anak di atas, vonis penjara 10 tahun yang dijatuhkan hakim terhadap IS seharusnya dipandang sudah tepat mengingat vonis tersebut sudah memenuhi rasa keadilan karena telah memberikan pidana maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU SPPA.
Kasus ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam sistem hukum pidana ketika anak terlibat dalam kasus kejahatan berat, seperti pembunuhan.