LEBAK, TOPmedia - ‘mari kita bersuka cita di Banten kidul, daerah kami tertinggal, maka kami punya banyak pekerjaan yang mulia...' itulah kutipan pidato pertama Edward Douwes Dekker atau bernama pena Multatuli, sehari setelah dilantik, pada 22 Januari 1886, salah satu Kepala Kawedanan Lebak, yang menandai tangan kekuasaan Belanda Kalla itu.
Kutipan itu pun bisa dilihat dari kata-kata mutiara Multatuli yang tertulis di dinding Museum, yang menandai museum anti kolonialisme pertama di Indonesia.
"museum yang tidak hanya berbicara Multatuli. Dan ini adalah museum anti kolonialisme dan sejarah kolonialisme itu sendiri yang pertama di Indonesia," kata Bonie Triyana, sejarawan Indonesia asal Lebak, Banten, usai peresmian Museum Multatuli, Minggu (11/02/2018).
Museum yang menceritakan bagaimana perlawanan terhadap penjajahan itu berlokasi di dekat Alun-alun Rangkasbitung. Menempati kantor bekas Kawedanan Lebak, tempat Edward Douwes Dekker, berkantor.
Dengan tujuh ruangan di dalamnya, museum ini di dekikasikan bagi siapapun yang perduli untuk melawan penjajahan saat ini. Semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, tergambar jelas dari museum berisikan novel terbitan pertama Deouwes Dekker berbahasa Perancis hingga teghel asli rumah Multatuli.
"Museum ini, bukan hanya milik Lebak, tapi juga milik Indonesia dan dunia. Museum ini mengangkat sejarah kolonialisme di Indonesia," kata Iti Octavia Jayabaya, Bupati Lebak, ditempat yang sama, Minggu (11/02/2018).
Edward Douwes Dekker yang bernama pena Multatuli, menjadi nama museum itu, sebagai simbol bahwa menegakkan keadilan tak mengenal Suku, Agama dan Ras.
Pengunjung akan disambut oleh muka Multatuli yang dibuat dari pecahan kaca. Lalu akan memasuki ruang multimedia, berisikan film dokumenter terkait penjajahan di Indonesia. Lalu diruang lainnya, akan menggambarkan bagaimana sejarah Kabupaten Lebak. Di dalam seluruh museum, pengunjung akan betah, karena memiliki harum asli dari kopi, kayu manis dan rempah-rempah lainnya. (YDtama/Red)