THAILAND, TOPmedia - Kecantikan seorang wanita boleh dikatakan relatif. Di mata pria ‘Bule’ bisa jadi kecantikan mengacu pada kulit sawo matang yang eksotis. Di lain pihak, para pengagum kulit seputih mutiara akan menganggap wanita berkulit putih sebagai yang paling cantik. Lain halnya dengan suku Karen dalam menilai kecantikan seorang wanita.
Saat berkunjung ke Thailand baru-baru ini, saya sempat singgah di provinsi paling utara Thailand, Chiang Rai. Dari Mae Fah Luang Chiang Rai International Airport, mobil yang saya tumpangi melaju ke wilayah pedesaan. Alam pedesaan yang hijau oleh persawahan dan pegunungan nan jauh di sana membuat saya terkesima. Sebelum sampai di desa tersebut, mobil pun berhenti sejenak di salah satu toko kecil untuk membeli beberapa makanan ringan. Kata pengemudi, makanan-makanan itu kelak akan berguna.
Petualangan berlanjut, perjalanan sekitar enam puluh menit dari bandara berujung pada sebuah halaman parkir perkampungan Tambon Nang Lae, Kecamatan Mueang Chiangrai, Provinsi Chiangrai. Pengemudi mengarahkan untuk menuju ke dalam kampung, di kanan kiri jalan desa berderet rumah-rumah panggung yang terbuat dari bambu dan kayu, jerami digunakan sebagai atap-atapnya. Lalu penulis mendapati sebuah gubuk kecil yang dijaga seorang pemuda, yang memberitahukan tarif masuk obyek wisata. Setelah membayar empat ratus bath, pengemudi mengantar memasuki bagian utama obyek wisata, dimana para wanita berleher panjang menggelar dagangannya.
Para wanita di kampung itu mengenakan gelang di leher sejak usia belia. Setiap pertambahan usia ditandai dengan penambahan jumlah gelang yang melingkar pada lehernya, semakin banyak gelang di leher, semakin panjang lehernya. Itu juga berarti semakin membanggakan karena kecantikan wanita suku Karen diukur dari panjang leher tersebut. Kebiasaan mengenakan gelang leher itu sudah ada sejak zaman dulu. Konon, wanita suku Karen tinggal di gunung dan sering diterkam pada bagian leher oleh binatang buas. Untuk melindungi leher, mulailah tradisi mengenakan gelang-gelang dari logam yang berat sehingga mereka merasa aman saat ditinggal berburu para pria. Tradisi kecantikan yang unik inilah yang menarik penulis mendatangi perkampungan ini.
Wanita suku Karen sebenarnya berasal dari Tibet dan saat ini tersebar di Myanmar, Laos dan sebagian besar di Thailand. Sebagian besar suku ini menganut Animisme dan Budha sebelum misionaris dari barat mendatangi kampung ini. Di kampung yang penulis kunjungi, mereka bisa ditemui sedang menenun, menjaga barang dagangan berupa kerajinan tangan di gubuk-gubuk beratap jerami. Mereka menyambut rombongan turis dengan tarian yang diiringi musik dari gitar mungil sementara para lelaki suku belum pulang dari berburu di hutan. Dengan kemampuan bahasa inggris yang seadanya, mereka giat memanggil pengunjung untuk membeli dagangan seperti gelang dari tembaga, kalung, dan syal hasil tenunan. Harga dagangan mereka bervariasi, tergantung pada tingkat kesulitan pembuatannya dan kelihaian menawar para pengunjung, dimulai dari seratus hingga empat ratus bath.
Selain perempuan dewasa, pengunjug juga bisa menemukan beberapa anak-anak kecil yang laki-laki mirip seperti anak-anak kecil umumnya, sedangkan yang perempuan sudah mengenakan gelang leher. Mereka sangat senang menyambut turis yang datang.
“Bila yang dewasa mengharapkan turis membeli dagangan, maka anak-anak ini akan senang bila pengunjung memberinya makanan ringan,” kata sopir yang masih mendampingi penulis melihat-lihat. Barulah penulis tahu alasan sopir itu menyuruh penulis membeli makanan ringan.Tidak lain dan tidak bukan untuk anak-anak tersebut.
Di belakang gubuk-gubuk toko tersebut terdapat rumah-rumah penduduk yang bisa dikunjungi, rumah-rumah kecil itu berbentuk panggung dari bambu dan beratap jerami. Terdapat beberapa hewan ternak seperti ayam, bebek di bawah rumah tersebut. Meskipun perhatian pemerintah dan wisatawan tertuju pada tradisi unik para wanita suku Karen, mereka sudah ‘melek’ teknologi, yaitu menerapkan pembangkit listrik tenaga surya. Secara keseluruhan, kunjungan ini sangat memuaskan dan menambah wawasan tentang definisi kecantikan wanita yang benar-benar relatif.
Penulis oleh:
Helmi Laksono, traveler 33 tahun asal Magelang, Jawa Tengah, yang juga seorang Staf di Courtyard Marriott Bali Seminyak, dengan pendidikan terakhir S1 Pendidikan Bahasa Prancis dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 Kajian Pariwisata di Universitas Udayana, Bali angkatan 2016.