TOPMEDIA - Di Indonesia, karya hadis Imam Nawawi yang sangat populer di kalangan ulama Nusantara adalah kitab Arbain Nawawi dan Riyadus Shalihin.
Di masanya, Imam Nawawi melihat majelis hadis mengalami penurunan yang sangat drastis sehingga gairah masyarakat terhadap hadis perlu dibangkitkan kembali.
Jauh sebelum itu, posisi hadis sebagai hujjah menjadi objek perdebatan karena penghimpunannya dilakukan sekitar 90 tahun sesudah Nabi wafat.
Tersirat dari pernyataan Syuhudi Ismail bahwa kebanyakan ulama hadis memandang pemalsuan hadis mulai muncul pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib.
Dalam kitab Al Faidl Al Qadir mengutip perkataan Imam Al Iraqi bahwa Tradisi ulama mutaqaddimin pendahulu (salaf) tidak mengomentari hadis dalam kitab-kitab mereka.
Baca Juga: Luncurkan Program Solo CERIA, 1.000 ASN Pemerintah Kota Surakarta Diberikan Edukasi Pasar Modal
Kemudian datang Imam Nawawi yang mulai menjelaskannya. Maksud para pendahulu agar masyarakat tidak melalaikan penalaran di setiap ilmu sesuai sifat ketidakpastian ilmu itu sendiri.
Oleh karena itu, wajar jika Imam Rafi’i menempuh cara ahli fikih meskipun sebenarnya lebih alim dalam hadis dibanding Imam Nawawi.
Imam Nawawi mensyarahi kitab Shahih Muslim dengan menyebut penyebabnya adalah untuk menghidupkan kembali kajian Sunnah di masyarakat.
Ini sebuah fenomena sosial yang menunjukkan kelestarian hadis saat itu semakin terancam.
Para ulama yang hidup setelah abad ke-3 H lebih senang merujuk dan menilai al-Kutub al-Sittah sebagai ‘produk jadi’ atau hasil yang tidak perlu dipertanyakan lagi asal usulnya.
Baca Juga: Meneladani Sikap dan Sifat Rasulullah SAW, Nabi Melakukan Hal Ini dalam Kesehariannya
Setelah itu, hadis itu dirujuk sebagai sumber penetapan hukum Islam. Meskipun demikian, syarah atau elaborasi yang lakukan oleh Imam Nawawi maupun ulama terdahulu merupakan syarah yang kategori ahistoris dan tekstualis, bukan elaborasi kontekstual yang mempertimbangkan asbabul wurud dan “konteks sebuah hadis” seperti yang diistilahkan oleh Prof. Quraish Shihab.
Praktek ilmu hadis di kalangan ulama kontemporer saat ini masih terbilang cukup langka.
Ulama senior al-Azhar Syekh Ahmad Ma’bad Abdel Karem mengakui bahwa para ulama senior fikih dan ushul fikih dalam hal takhrij cukup mengandalkan hasil takhrij dalam kitab “Nailul Authar” karya Imam as-Syaukani.