SITI NUR AJIZAH, mahasiswa hukum, Kampus UNPAM Serang
TOPMEDIA.CO.ID - Fenomena 'No Viral, No Justice' kini menjadi cermin yang memantulkan dengan jelas betapa ringkihnya penegakan hukum di Indonesia. Kita menyaksikan sendiri bagaimana hukum kerap berjalan lambat—bahkan nyaris tak bergerak—hingga akhirnya masyarakat terpaksa melontarkan suara mereka ke media sosial.
Aneh tetapi nyata: rekaman CCTV yang beredar luas, tangis korban yang viral, hingga video kekerasan yang dibagikan ribuan kali sering kali jauh lebih mampu menggerakkan aparat daripada laporan resmi yang disampaikan secara prosedural.
Dalam lanskap seperti ini, negara seolah baru sadar akan tugasnya ketika warganya menggedor pintu dengan kemarahan digital. Lalu muncul pertanyaan yang jauh lebih penting: apakah negara hukum kita kini bergantung pada sorotan kamera agar mau bekerja?
Baca Juga: Transformasi Hukum Pidana Indonesia Menjelang Pemberlakuan KUHP 2026
Padahal, persoalan utamanya bukan pada media sosial itu sendiri. Akar masalah terletak pada sistem hukum yang belum mampu menyediakan pelayanan yang cepat, transparan, dan berpihak pada korban.
Proses laporan yang berjalan tersendat, penyidikan yang tidak menentu, serta minimnya pendampingan membuat publik kehilangan kepercayaan. Ketika ruang resmi dirasa tidak cukup aman untuk berharap, media sosial menjelma menjadi tempat terakhir untuk mencari keadilan. Namun di sinilah ironi itu lahir: tidak semua orang memiliki kemampuan, jaringan, atau keberanian untuk membuat kasusnya viral.
Masyarakat yang tinggal di pelosok, mereka yang terbatas akses internetnya, atau yang memilih bungkam karena trauma, sering kali terkubur dalam sunyi. Seakan-akan keadilan kini hanya milik mereka yang suaranya paling keras, bukan mereka yang paling membutuhkan perlindungan.
Ketergantungan aparat pada tekanan viral juga menimbulkan masalah baru yang jauh lebih kompleks. Kasus-kasus yang ramai di linimasa sering membuat aparat bertindak reaktif demi menjaga citra institusi, bukan berdasarkan pertimbangan hukum yang objektif.
Sementara itu, masyarakat yang digerakkan oleh emosi dapat dengan mudah terjebak dalam “trial by social media”, menghakimi seseorang sebelum pengadilan bicara. Ruang digital akhirnya berubah menjadi arena pengadilan tanpa hakim dan tanpa batas, di mana komentar menggantikan bukti, dan kemarahan menggantikan proses hukum.
Situasi seperti ini bukan hanya melukai asas praduga tak bersalah, tetapi juga merusak pondasi keadilan itu sendiri.
Baca Juga: Pertamina Patra Niaga Regional JBB Perkuat Pengelolaan Limbah Berbasis Vermikompos
Fenomena ini sekaligus menyingkap rapuhnya mekanisme pengawasan internal aparat penegak hukum. Seharusnya, setiap laporan ditangani tanpa menunggu perhatian publik.
Seharusnya, setiap korban merasa aman sejak langkah pertama memasuki kantor kepolisian. Seharusnya, setiap penyidikan berjalan tanpa diskriminasi terhadap siapa pelapor, siapa terlapor, ataupun seberapa viral kasus tersebut di dunia maya. Namun kenyataan berkata lain.