Masyarakat kecil yang mencuri karena kebutuhan tetap dihukum, sementara koruptor kelas atas dapat lolos dengan membayar sejumlah uang. Hal ini tidak hanya melukai rasa keadilan publik, tetapi juga memperparah ketimpangan hukum.
Jika wacana ini direalisasikan, dampaknya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia bisa sangat buruk. Koruptor akan semakin berani melakukan kejahatan karena tahu ada "jalan keluar" yang mudah. Upaya pencegahan korupsi pun akan menjadi sia-sia jika ancaman hukuman kehilangan daya gentarnya.
Baca Juga: Kena Hujat Netizen! Demi Viral Cowok Ini Minta Maaf Usai Sebar Hoax Uang Palsu di ATM BRI
Selain itu, implementasi "denda damai" berisiko membuka ruang negosiasi yang rawan manipulasi. Proses penentuan nilai denda bisa menjadi ajang korupsi baru, di mana pelaku dan penegak hukum melakukan kompromi untuk keuntungan masing-masing. Akibatnya, institusi penegakan hukum semakin kehilangan legitimasi di mata masyarakat.
Menghadapi korupsi memerlukan komitmen kuat dari semua elemen bangsa. Solusi yang diajukan harus memperkuat efek jera, bukan justru memberikan kelonggaran. Usulan "denda damai" tidak hanya menciderai rasa keadilan, tetapi juga bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang telah diperjuangkan selama ini.
Jika pemerintah serius ingin memperbaiki sistem hukum, fokuslah pada pembenahan penegakan hukum, penguatan lembaga anti-korupsi, dan perbaikan transparansi birokrasi.
Memberikan "jalur damai" kepada koruptor sama saja dengan menyerah pada kejahatan itu sendiri. Penegakan hukum yang adil dan tegas adalah harga mati untuk menjaga kehormatan bangsa dan kepercayaan rakyat.***