Penulis: Muhammad Raehan Al Mubarok (Mahasiswa Fakultas Hukum Unpam PSDKU Serang)
TOPMEDIA.CO.ID- Pemerintah kembali menggulirkan wacana kontroversial dalam upaya penanganan kasus korupsi di Indonesia. Kali ini, usulan "denda damai" sebagai alternatif hukuman pidana untuk koruptor memicu perdebatan sengit.
Menteri Hukum dan HAM menyebut mekanisme ini dapat mempercepat pemulihan kerugian negara dan mengurangi beban penjara. Namun, kritik deras datang dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pakar hukum, yang menilai ide ini dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Dalam beberapa sistem hukum di dunia, restorative justice diterapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu di luar pengadilan.
Baca Juga: Ulasan HAM di Era Globalisasi
Prinsip ini menekankan pemulihan kerugian korban ketimbang penghukuman pelaku. Namun, konsep tersebut umumnya diterapkan pada tindak pidana ringan, bukan kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Usulan "denda damai" di Indonesia tampaknya berangkat dari semangat ini, tetapi dalam konteks yang tidak tepat.
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, ia adalah pengkhianatan terhadap amanat publik.
Kerugian yang diakibatkan tidak hanya bersifat material, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Oleh karena itu, menjadikan uang sebagai satu-satunya parameter penyelesaian kasus korupsi justru menghilangkan aspek penghukuman dan efek jera.
Konsep "denda damai" berpotensi melanggar asas keadilan. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor jelas menyebutkan bahwa korupsi merupakan kejahatan yang harus dihukum berat karena sifatnya yang merusak tatanan negara.
Jika koruptor dapat "membeli" kebebasannya dengan uang, ini tidak hanya bertentangan dengan hukum, tetapi juga memperkuat kesan bahwa hukum di Indonesia dapat diperjualbelikan.
Mahfud MD, sebagai salah satu tokoh yang menolak gagasan ini, menyebut bahwa penerapan "denda damai" akan menciptakan ketidakadilan struktural.