“Hal yang disepakati lebih didahulukan daripada hal yang masih diperselisihkan” (Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdul Kafi as-Subki, al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, juz 3, hal. 245).
Mendahulukan diri sendiri daripada orang tua dalam hal ibadah sebenarnya tidak hanya berlaku pada ibadah kurban saja. Dalam persoalan yang mirip, yakni zakat fitrah, ketika seseorang tidak mampu menzakati fitrah terhadap seluruh keluarganya karena hanya memiliki beberapa sha’ beras saja, maka yang harus didahulukan adalah diri sendiri. Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dijelaskan:
وَأَنَّه٠لَوْ وَجَدَ بَعْضَ الصّÙيعَان٠قَدَّمَ Ù†ÙŽÙÙ’Ø³ÙŽÙ‡ÙØŒ Ø«Ùمَّ Ø²ÙŽÙˆÙ’Ø¬ÙŽØªÙŽÙ‡ÙØŒ Ø«Ùمَّ وَلَدَه٠الصَّغÙيرَ، Ø«Ùمَّ الْأَبَ، Ø«Ùمَّ الْأÙمَّ، Ø«Ùمَّ الْكَبÙيرَ
“Jika ia menemukan beberapa sha’, maka wajib mengeluarkan zakat untuk dirinya terlebih dahulu, lalu istrinya, lalu anaknya yang kecil, lalu ayahnya, lalu ibunya, lalu anaknya yang sudah besar” (Syekh Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 116).
Maka dengan demikian pertanyaan dari saudara penanya dapat dijawab bahwa boleh dan sah berkurban untuk kakek yang telah meninggal menurut pandangan mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali. Namun dari aspek yang lain, mendahulukan berkurban untuk orang lain dengan mengakhirkan berkurban untuk diri sendiri adalah hal yang makruh. Sehingga sebaiknya etika dalam berkurban adalah mendahulukan berkurban untuk diri sendiri terlebih dahulu, dan ketika telah memiliki uang yang lebih maka barulah dianjurkan untuk berkurban untuk orang lain, dengan begitu seseorang dapat menjalankan tuntunan berkurban yang sesuai dengan anjuran syariat. Wallahu a’lam. (RED)
Sumber: NU.or.id