TOPmedia - Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Sebelum sampai ke sana, di awal kami menyinggung terlebih dahulu situasi perihal kedudukan perempuan pada saat Al-Qur’an diturunkan.
Pada saat Islam datang, peradaban manusia terkait kedudukan perempuan terbilang masih rendah. Perempuan selamanya berada dalam “perbudakan.” Selagi kecil, ia berada di bawah belenggu ayahnya. Setelah menikah, belenggu perempuan berpindah tangan kepada suaminya.
Sebagai entitas di bawah kuasa orang lain, perempuan saat itu tidak memiliki hak atas harta, bahkan atas hidupnya sendiri. Tidak heran kalau Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 menyinggung anak perempuan yang dikubur hidup-hidup. Al-Qur’an mempertanyakan dosa apa yang dilakukan anak perempuan sehingga layak dibunuh hidup-hidup.
Adapun Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 berbunyi sebagai berikut:
ÙˆÙŽØ¥ÙØ°ÙŽØ§ الْمَوْءÙÙˆØ¯ÙŽØ©Ù Ø³ÙØ¦Ùلَت Ø¨ÙØ£ÙŽÙŠÙÙ‘ Ø°ÙŽÙ†Ù’Ø¨Ù Ù‚ÙØªÙلَت
Artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.
Oleh karena itu, Islam kemudian datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu perbudakan yang menjadi sistem sosial saat itu. Islam mengembalikan atau memulihkan kepribadian perempuan yang disia-siakan. Islam memberikan hak kepada perempuan secara sempurna dalam relasinya dengan masyarakat dan keluarga. Hal ini disebutkan oleh Imam M Abu Zahrah dalam Ushulul Fiqih-nya ketika membahas sisi kemukjizatan Al-Qur’an.
وأعطى الإسلام المرأة ØÙ‚وقها كاملة وجعل ماليتها ÙÙŠ الأسرة Ù…ÙØµÙˆÙ„Ø© عن مالية الزوج
Artinya, “Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga,” (Imam M Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, [Beirut, Darul Fikr Arabi: 2012 M/1433 H], halaman 85).
Dari semangat Al-Qur’an dalam pemulihan hak-hak perempuan ini, ulama fiqih kemudian memberikan garis yang jelas terkait hak kepemilikan bagi perempuan dalam hal ini sebagai istri. Ulama mengatakan bahwa seorang perempuan berhak atas mahar dan nafkah; dan berhak diperlakukan secara manusiawi.
للزوجة ØÙ‚وق مالية وهي المهر والنÙقة، ÙˆØÙ‚وق غير مالية: وهي Ø¥ØØ³Ø§Ù† العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل
Artinya, “Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan.” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 327). Dengan demikian, perempuan memiliki kedaulatan atas kepemilikan harta.
Kedaulatan perempuan atas kepemilikan harta ini tertuang jelas dalam perintah Al-Qur'an pada Surat An-Nisa’ ayat 4 perihal kewajiban pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya.
وَآتÙوا النÙّسَاءَ صَدÙقَاتÙÙ‡ÙÙ†ÙŽÙ‘ Ù†ÙØÙ’Ù„ÙŽØ©Ù‹ Ûš ÙÙŽØ¥Ùنْ Ø·ÙØ¨Ù’Ù†ÙŽ Ù„ÙŽÙƒÙمْ عَنْ شَيْء٠مÙنْه٠نَÙْسًا ÙÙŽÙƒÙÙ„Ùوه٠هَنÙيئًا مَرÙيئًا
Artinya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Surat An-Nisa’ ayat 4).
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan garis yang jelas terkait hak laki-laki dan hak perempuan. Perempuan dalam hal ini istri memiliki hak atas harta, yaitu mahar dan nafkah. Sedangkan laki-laki dalam hal ini suami juga memiliki hak atas harta.