Penderitaan warga Rohingya diperburuk dengan penolakan kewarganegaraan mereka di Myanmar, yang menjadikan mereka tidak memiliki kewarganegaraan secara hukum.
Salah satu dampak dari keadaan tanpa kewarganegaraan adalah ketidakmampuan untuk mendapatkan dokumen identifikasi dan paspor. Tidak ada jalur yang aman dan legal bagi warga Rohingya untuk mencari suaka di wilayah tersebut.
Hal ini membuat mereka tidak mempunyai pilihan selain menempuh perjalanan berisiko dan menggantungkan nasib pada jaringan perdagangan manusia yang menempatkan mereka pada situasi dengan risiko kematian, kekerasan, pemerasan, atau kekerasan seksual, yang lebih tinggi.
Baca Juga: Ini Jenderal Myanmar Paling Bertanggung Jawab Atas Kekerasan di Rohingya
Seorang anak berusia 18 tahun yang diculik secara paksa dan ditahan di Myanmar pada awal tahun ini menggambarkan perasaannya setelah keluarganya membayar uang tebusan untuk memulangkan dia ke Bangladesh.
Perasaan tidak aman hanyalah salah satu dari beberapa faktor yang memberikan tekanan pada kehidupan sehari-hari warga Rohingya.
Di Bangladesh, jatah makanan dipotong menjadi hanya 8 USD per orang per bulan dan Rencana Aksi Bersama PBB sangat kekurangan dana sehingga hanya memberikan 46 persen dari pendanaan yang disepakati pada tahun 2023.
Karena situasi ekonomi dan keamanan yang buruk di kamp-kamp Bangladesh, banyak keluarga mengatakan kepada MSF, mereka merasa satu-satunya pilihan adalah dengan menikahkan anak perempuan mereka pada laki-laki Rohingya di Malaysia.
Bagi sebagian besar orang, pilihan ini berarti mempercayakan keselamatan anak perempuan mereka kepada jaringan perdagangan manusia, dan kemungkinan besar mereka tidak akan pernah bertemu langsung dengan anak perempuan mereka lagi.
Baca Juga: Mahasiswa di Banten Gelar Istighosah Untuk Muslim Rohingya
Seorang remaja berusia 19 tahun yang tiba di Malaysia pada tahun 2022 mengenang:
“Kehidupan di kamp pengungsi sangat mengerikan dan tidak terbayangkan. Itu sama sekali tidak aman, terutama bagi perempuan. Banyak kejahatan terjadi dan banyak orang terbunuh setiap hari. Saya memutuskan untuk meninggalkan kamp pengungsi Bangladesh untuk mencari pasangan karena saya merasa tidak aman di kamp yang padat itu,” ujarnya.
Menurut perempuan Rohingya berusia 30 tahun yang tiba di Malaysia pada Oktober 2022. “Perjalanan dari Bangladesh ke Malaysia sangat sulit, ada yang meninggal di kapal, ada yang dipukuli oleh penyelundup manusia. Di Malaysia, ada risiko ditangkap oleh pihak berwenang karena sebagian dari kami tidak memiliki dokumen UNHCR,” katanya. (*)